MAHASISWA MEYONTEK : CACAT IDEALISME YANG MENCIDERAI INTEGRITAS AKADEMIK
Kupang, 10 Juni 2018
MAHASISWA
MEYONTEK : CACAT IDEALISME YANG MENCIDERAI INTEGRITAS AKADEMIK
Oleh:
Arsel Arianto Pau Riwu
Integritas akademik (academic integrity) merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan
pendidikan, termasuk dalam dunia pendidikan di kampus (pendidikan tinggi). Dari
beberapa sumber yang mendefinisikan integritas, maka penulis dapat menyatakan
bahwa integritas merujuk pada kualitas keutuhan moral, berpegang teguh pada
nilai-nilai moral, bersifat jujur dan konsisten antara kebenaran yang diyakini,
apa yang dikemukakan (ucapkan) dengan apa yang diperbuat. Ada enam nilai dasar
dalam academic integrity yang dikutip
penulis (The Center of Academic Integrity,
dalam Yulianto 2015), yaitu honesty
(kejujuran), trust (dapat dipercaya),
fairness (kewajaran), respect responsibility (penghormatan terhadap tanggungjawab) dan courage (keberanian). Pelanggaran kode
etik ilmu pengetahuan didunia kampus yang juga merupakan persoalan integritas
akademik, pada sudut pandang dan takaran tertentu seakan menjadi hal yang
lumrah. Persoalan/pelanggaran ini sudah mengkhawatirkan karena tidak hanya
dilakukan oleh mahasiswa tetapi juga oleh dosen. Hal ini terlihat dari contoh
kasus yang secara luas telah dibahas dan menjadi keprihatinan dalam dunia
kampus, yakni kasus penjiplakan/plagiarisme yang tidak hanya melibatkan
mahasiswa tetapi juga melibatkan
peneliti/dosen bahkan setingkat doktor.
Salah satu persoalan yang masih sangat
berhubungan dengan persoalan plagiarisme diatas adalah persoalan menyontek (Cheating). Pada tulisan ini, definisi
menyontek yang dimaksud oleh penulis dikhususkan/disempitkan
pada tindakan kecurangan, tidak
jujur dan ilegal dalam mengerjakan sebuah tes/ujian. Menyontek merupakan
salah satu fenomena pendidikan yang masih sering ditemukan dalam aktivitas
pembelajaran, baik pada tingkat dasar, menengah, bahkan perguruan tinggi. Namun
fenomena ini sepertinya kurang mendapat pembahasan yang luas, karena mungkin
masih dianggap sebagai suatu hal yang sepele, padahal menyontek merupakan salah
satu persoalan integritas akademik yang juga tidak kalah penting untuk dibahas
seperti halnya penjiplakan/plagiarisme.
Alasan utama penulis sehingga tertarik untuk
menyampaikan pandangan (terkhusus) tentang menyontek (Cheating) ini, karena perbuatan curang (menyontek) dalam proses
pembelajaran serta evaluasi (ujian/tes) akan sangat merugikan bagi : (1) Kredibilitas lembaga perguruan tinggi,
karena akan/bisa diberi label sebagai kampus dengan mahasiswa yang “doyan menyontek”, (2) Mahasiswa yang
telah mengikuti proses pembelajaran dan tes/ujian dengan kejujuran (tanpa
menyontek) akan sangat kecewa jika dihargai sama atau bahkan lebih rendah
(pengalaman penulis, hehe) dari mereka yang mencari penghargaan (nilai) melalui
jalan pintas yaitu menyontek.
Salah satu alat ukur yang digunakan oleh
dosen untuk menentukan keberhasilan belajar mahasiswa ialah melalui tes, contohnya
seperti yang sering diikuti penulis yaitu dalam bentuk quis, ujian tengah
semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS). Untuk mendapatkan nilai yang
baik, sangat baik, atau hanya sekedar nilai standar agar lulus, ada juga
sebagian mahasiswa yang menggunakan tindakan curang yaitu dengan menyontek.
Selain karena faktor utama diatas (nilai ujian), menurut penulis perilaku
menyontek juga dapat dilakukan oleh mahasiswa karena didukung oleh berapa hal,
seperti tidak memahami skala prioritas dalam kuliah, tidak mau belajar keras,
tidak percaya diri dengan kemampuannya (tidak memiliki self-efficacy), dan terlebih
karena adanya dorongan/kesempatan dari lingkungan, misalnya teman-teman yang
menyontek serta perilaku pengawas ujian/tes yang “longgar” dalam mengawasi
peserta ujian.
Perilaku umum yang masuk dalam kategori
menyontek dalam tes/ujian diantaranya ialah menanyakan jawaban pada
teman/peserta ujian yang lain, menyalin jawaban (baik rangkap 1, 2, 3, dst)
dari peserta ujian lain, serta membawa catatan/contekan dalam berbagai bentuk
mulai dari akses sempit misalnya catatan pada kertas kecil, hingga akses yang
luas ke google/yahoo (dan lainnya) melalui android. Dari fenomena yang
diperhatikan penulis, yang lebih ironisnya ialah jika masih ada mahasiswa yang melakukan pembenaran
dengan menganggap menyontek sebagai perilaku yang biasa untuk dilakukan dalam
keadaan “terpaksa” karena dosen memberikan soal tes yang relatif rumit atau
juga mengibaratkan perilaku menyontek sama dengan belajar saat ujian (entah ini
hanya candaan atau bukan). Perilaku menyontek juga, kadang dapat dipengaruhi
oleh karakteristik mata kuliah (susah-mudah, banyak teori-banyak hitungan, dll)
yang berakibat pada motivasi belajar mahasiswa dan karakteristik dosen pengapuh
mata kuliah. Hal pertama menurut
penulis berkaitan dengan karakteristik mata kuliah ialah, mahasiswa dengan
motivasi belajar rendah pada mata kuliah tertentu, akan cenderung malas untuk
mempersiapkan diri dengan baik sebelum mengikuti ujian. Namun karena tuntutan
situasi (standar) yang mengharuskan mahasiswa memperoleh nilai yang relatif
baik, maka terkadang perilaku menyontek
terjadi sebagai jalan pintasnya. Hal ini didukung oleh Bernadeta (2016) dalam
penelitiannya tentang “perbedaan sikab mahasiswa terhadap perilaku menyontek
ditinjau dari motivasi belajar” yang menyimpulkan bahwa mahasiswa yang bersikab
cenderung setuju terhadap perilaku menyontek ialah mahasiswa dengan motivasi
belajar yang sangat rendah. Hal kedua
berkaitan dengan karakteristik dosen pengapuh mata kuliah, dosen yang sangat
intoleran terhadap kegiatan mencontek (memiliki sistem punishment/hukuman yang sangat tegas) akan berpengaruh pada kecenderungan
mahasiswa untuk tidak (berani) menyontek.
Jika kegiatan mencontek ini memang telah
menjadi hal yang lumrah, maka yang menjadi pertanyaan ialah apakah mahasiswa/peserta tes dalam
mengambil keputusan sebelum melakukan
tindakan menyontek, tidak memperhatikan/mempertimbangkan prinsip, nilai atau
pandangan (idealisme) yang benar untuk menuntunya dalam mengambil keputusan
yang baik?, bukankah katanya mahasiswa itu ialah aktor intelektual dengan
idelisme yang masih secara kritis dapat memisahkan yang baik dan yang yang
buruk?. Menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin memaparkan hasil penelitian
Yulianto 2015 dengan judul “Persepsi mahasiswa
tentang ketidak-jujuran akademik : studi kasus mahasiswa program vokasi
Universitas Indonesia”, yang mengungkapkan bahwa 80% responden mahasiswa masih
berfikir tentang prinsip/nilai (idealisme) yang ada dalam diri mereka ketika memutuskan
untuk melakukan tindakan menyontek atau tidak, sedangkan 20% mengatakan tidak
memperhatikan nilai (value) atau
prinsip yang mereka miliki. Hal ini menurut penulis memang masih banyak
mahasiswa (contohnya dari penelitian yang dipaparkan diatas 80%) yang memiliki
pandangan bahwa menyontek merupakan tindakan yang melanggar aturan dan
bertentangan dengan norma yang berlaku (prinsip/nilai). Namun demikian tindakan menyontek tetap dapat dilakukan karena memang persoalan
menyontek bukan cuma persoalan memiliki/mempertimbangkan prinsip tentang yang
baik atau buruk tetapi lebih pada persoalan praktis yaitu menjawab kebutuhan
(nilai ujian, lulus dll) walaupun dengan cara yang tidak benar (menyontek). Hal
ini berarti bahwa, idealisme yang
umumnya digaungkan oleh mahasiswa pada praktiknya terkadang menjadi cacat
ketika berhadapan dengan urusan/kepentingan praktis.
Kegiatan menyontek (Cheating) pada tingkatan perkuliahan, juga akan berdampak buruk
pada pendidikan pasca ataupun pendidikan professional, bahkan dalam dunia kerja
dan kemasyarakatan,. Banyak ahli yang telah mengungkapkan pengaruh buruk
tersebut, salah satunya ialah komentar
Lawson (2004) dalam Brown B.S Choong. P (2005) yang dikutip penulis dari Adi
Susilo (2007) tentang “Integritas akademik dalam membangun SDM profesional
diperguruan tinggi: kasus academic
dishonesty” yang menyatakan bahwa “ditemukan hubungan yang kuat antara
keyakinan etika mahasiswa dalam bidang akademik dengan perilakunya pada dunia
usaha. Nampaknya kecenderungan untuk melakukan Cheating dalam bidang akademik berkaitan dengan etika mahasiswa
secara keseluruhan”.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya
bahwa kegiatan menyontek tidak hanya berbicara mengenai ketiadaan/tidak
mempertimbangkan nilai atau prinsip semata, tetapi lebih kepada aspek
praktisnya misalnya mengharapkan nilai mata kuliah yang baik namun kurang
usaha, pengaruh lingkungan seperti teman/peserta tes lain yang menyontek dan
pengawas tes/ujian yang kurang ketat. Oleh karena itu menurut penulis, menghentikan perillaku menyontek mahasiswa
didunia kampus dalam menjaga kredibilitas lembaga pendidikan tinggi sudah tidak
bisa hanya mengandalkan idealisme mahasiswa, namun membutuhkan sistem
pengawasan, pelaporan, dan penindakan yang baik dan tegas terhadap tindakan
menyontek maupun tindakan
“toleransi/pengabaian” yang diberikan dosen terhadap aktivitas tersebut. Sayangnya,
sistem inilah yang dilihat oleh penulis masih belum berjalan dengan baik dan
tegas, terbukti dengan masih ditemukannya perilaku-perilaku menyontek saat
ujian yang seakan menjadi rahasia umum antara sesama perserta tes (mahasiswa).
Beberapa saran sederhana dari penulis berkaitan dengan sistem
pengawasan/pecegahan menyontek ialah: (1) Sistem pengawasan ujian yang langsung
dilakukan oleh dosen mata kuliah, karena dari pengalaman penulis, terkadang
ketika asisten/mahasiswa lain yang mengawasi ujian (dimandatkan oleh dosen
pengapuh mata kuliah) akan meningkatkan potensi untuk terjadinya kegiatan
menyontek. (2) Sebagai lembaga yang harus menjaga kredibilitasnya, perlu untuk membuat tim/komisi etik yang bertugas untuk
melakukan investigasi, dan melakukan rekomendasi terhadap pihak yang terlibat
dalam kasus menyontek baik itu dosen pengapuh mata kuliah maupun mahasiswa.
Demikian opini penulis, kurang dan
lebihnya mohon dimaklumi.
Comments
Post a Comment