Potensi dan Visibilitas Industrialisasi Garam (NaCl) di Kabupaten Sabu Raijua - NTT
(Penulis: Arsel Arianto Pau Riwu)
Kabupaten
Sabu Raijua merupakan salah satu daerah terluar paling selatan di Indonesia
yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kabupaten ini terdiri atas
pulau Sabu, pulau Raijua serta satu pulau kecil yaitu pulau Dana. Sebagai
daerah otonom yang baru terbentuk tahun 2008, kabupaten ini membutuhkan aktivitas
industri dalam mengelola sumberdaya untuk kemajuan perekonomian masyarakat. Salah
satu potensi yang dapat didorong ke arah industrialisasi ialah produksi garam
tradisional yang mana telah berkembang lebih positif dalam satu dekade
terakhir.
1. Profil
umum potensi produksi garam
Kabupaten
Sabu Raijua memiliki potensi yang relatif besar sebagai salah satu sentra
produksi garam (NaCl) di NTT. Potensi tersebut dapat dipahami dari beberapa prespektif
yaitu aspek geografis, kondisi air laut, iklim dan kultural. Secara geografis,
kabupaten Sabu Raijua dikelilingi lautan luas dengan samudra Hindia dibagian
selatan. Kabupaten ini dengan dua pulau besar memiliki panjang garis pantai ±1026,36
Km[1].
Berdasarkan data pemerintah tahun 2020, potensi luas area tambak garam mencapai
2000 Ha, namun luas area eksisting yang telah dimanfaatkan tidak lebih dari 108
Ha[2][3].
Tidak optimalnya perluasan area produksi garam ini dikarenakan investasi yang hanya
bergantung pada biaya dari pemerintah melalui skema Anggaran Pendapatan dan Belaja
Daerah (APBD).
Kondisi
laut Sabu yang relatif bersih dengan salinitas yang tinggi mencapai 4 – 5
derajat Baume[4], menjadi potensi yang baik untuk
produksi garam. Laut Sabu secara umum memiliki kandungan polusi yang rendah karena
belum ada aktivitas industri besar yang menghasilkan limbah yang signifikan,
serta aktivitas transportasi laut yang tidak terlalu padat. Kondisi ini secara
umum akan sangat mendukung proses pembentukan kristal garam dengan kandungan
pengotor yang relatif rendah.
Kabupaten
Sabu Raijua merupakan daerah beriklim semi-arid dimana rata-rata waktu hujan
singkat yaitu 14 – 69 hari dengan curah hujan yang rendah. Periode musim
kemarau panjang mencapai 7 - 8 bulan dalam setahun[5]. Dengan iklim
terebut daerah Sabu Raijua memperoleh intensitas radiasi sinar matahari yang
tinggi mencapai 5,12 kwh/m2 diatas rata-rata secara nasional sebesar
4,70 kwh/m2 [6]. Kondisi ini sangat mendukung
percepatan proses evaporasi air laut (molekul H2O) dalam tambak
untuk membentuk kristal garam. Selain itu, dengan periode kemarau yang panjang juga
akan menyediakan kemungkinan siklus produksi yang lebih banyak.
Secara
kultural, aktivitas produksi garam tradisional telah berlangsung dalam waktu
yang lama dalam beberapa generasi secara turun-temurun. Hal ini dapat ditemukan
di beberapa titik produksi seperti di kecamatan Raijua dan kecamatan Liae. Pola
produksi garam tradisional yang ada memanfaatkan energi yang dipancarkan
matahari untuk menguapkan molekul H2O dari air laut. Pola tersebut menghasilkan
garam dengan kualitas dan kuantitas yang rendah, serta membutuhkan waktu
produksi yang cukup lama (± 30 hari). Budaya produksi garam yang ada merupakan
modal sosial yang baik untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan tenaga
kerja yang telah ada, demi pengembangan produksi garam kearah yang lebih besar
(industrialisasi).
2. Gambaran produksi
garam dalam satu dekade terakhir
Sebelum
tahun 2013, produksi garam dilakukan dengan pola tradisional dan belum memanfaatkan
rekayasa metode dan teknologi terkini. Metode yang dipakai dengan hanya
memanfaatkan sinar matahari untuk menguapkan molekul air, dapat meninggalkan
kristal campuran garam dengan kemurnian NaCl yang tidak tinggi yaitu berkisar
80% – 90%. Kondisi ini dikarenakan keberadaan zat pengotor berupa kation dan
anion seperti Ca2+, Mg2+, Al3+, Fe3+,
SO42-, I-, Br- serta pengotor
molekul lainnya[3]. Dari aspek kualitas, produk garam
yang dihasilkan umumnya hanya bisa memenuhi standar garam konsumsi (kadar NaCl
60% - 94%). Sementara dari aspek kuantitas, garam yang dihasilkan hanya dimanfaatkan
untuk kebutuhan konsumsi domestik di kabupaten Sabu Raijua.
Pada
tahun 2013, pemerintah kabupaten Sabu Raijua telah mengembangkan produksi garam
dengan memanfaatkan teknologi geomembran pada lahan seluas satu hektar. Petak
lahan produksi dilapisi dengan material geosintetik berupa lembaran polimer
plastik yang terbuat dari polietilen dan polyvinyl
chloride (PVC), sehingga membuatnya relatif baik sebagai bahan kedap air. Hingga
tahun 2020, tambak garam telah diperluas mencapai lebih dari 108 Ha. Perluasan
ini berdampak pada peningkatan produksi garam yang awalnya hanya 105 ton pada
tahun 2013, telah meningkat mencapai 8168 ton pada tahun 2018.
Dari
aspek kualitas, dengan menggunakan teknologi geomembran maka garam yang
diproduksi telah mencapai kadar NaCl sebesar 96,2%. Dengan kondisi tersebut
telah memenuhi standar sebagai garam konsumsi dan untuk beberapa bidang
industri. Namun kualitas tersebut belum memenuhi syarat garam untuk tujuan
proanalisis dan untuk bidang farmasi dengan standar kandungan NaCl sebesar 99,8%.
Garam yang diproduksi di Kabupaten Sabu Raijua telah diperdagangkan keluar
daerah hingga ke pulau Jawa dengan nama brand
“Garam Nataga” sejak tahun 2014. Produksi garam tersebut telah memiliki ijin
BPOM untuk diperdagangkan sebagai garam konsumsi.
3. Tantangan
industrialisasi produksi garam
Peningkatan
kuantitas dan kualitas produksi garam telah menghasilkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) mencapai 5,3 Miliar pada tahun 2018. Dengan potensi yang besar, produksi garam
belum dioptimalkan ke arah industrialisasi. Tantangan menuju industrilisasi
garam di kabupaten Sabu Raijua diantaranya ialah kurangnya investasi,
pengelolaan yang kurang profesional, serta pemanfaatan teknologi yang belum
optimal. Dari aspek investasi, sumber pendanaan produksi garam hanya berasal
dari APBD. Oleh karena itu, untuk memperbesar kapasitas produksi dan pemasaran
produk maka penting untuk mengundang investor dari pihak swasta dalam mengelola
potensi yang ada.
Pengelolaan
produksi garam oleh dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) kabupaten
Sabu Raijua tidak sepenuhnya dilaksanakan dengan prinsip-prinsip korporasi yang
profesional. Beberapa persoalan yang ada diantaranya ialah adanya praktek
korupsi, manajemen sumber daya manusia yang lemah, kurangnya koneksi ke pasar
melalui distributor, serta tantangan untuk memanfaatkan teknologi yang lebih
baik. Praktek korupsi dalam pembangunan tambak garam tahun 2017 telah merugikan
keuangan negara mencapai 29 miliar rupiah. Hal ini dibuktikan dengan adanya
putusan Mahkamah Agung tahun 2019 terhadap mantan kepala dinas Perindag
kabupaten Sabu Raijua yang divonis hukuman 10 tahun penjara[7]. Pola pengelolaan
keuangan yang transparan dan profesional perlu diaplikasikan agar tidak
menghambat peningkatan produksi garam. Selain itu, terkait dengan manajemen
sumber daya manusia dalam beberapa laporan dinyatakan bahwa para pekerja belum
mampu memenuhi target produksi yang telah ditetapkan. Rendahnya upah yang
diterima oleh para pekerja dengan besar gaji dibawah Upah Minimum Kabupaten
(UMK), serta pembayaran yang tidak reguler menjadi persoalan yang belum tuntas
diselesaikan.
Masalah lain yang dihadapi ialah kurangnya
koneksi dan distribusi dengan investor atau pasar. Hal ini mengakibatkan banyak
produk garam yang tidak terjual. Laporan pemerintah bulan Oktober tahun 2020
menyatakan bahwa terdapat 14000 ton garam industri yang belum terjual dan hanya
menumpuk di gudang penyimpanan[8]. Kondisi ini berpotensi mengalami
pengurangan massa garam pada musim hujan serta menghalangi kelanjutan kegiatan
produksi. Persoalan ini seharusnya dapat diatasi jika ada pengelolaan dan
strategi marketing yang profesional dengan melibatkan investor garam swasta
agar dapat membeli produk tersebut.
Tantangan
lainnya dalam proses produksi garam ialah pentingnya mengaplikasikan teknologi
purifikasi NaCl untuk memperoleh garam dengan konsistensi kemurnian yang lebih
tinggi. Garam dengan kemurnian tinggi dapat dimanfaatkan sebagai garam industri
maupun garam proanalisis di laboratorium dan industri farmasi. Pelibatan para
peneliti dan pihak profesional untuk mengembangkan metode dan teknologi dalam
meningkatkan kemurnian NaCl sangat diperlukan. Salah satu contoh metode yang
dapat digunakan untuk menghasilkan garam dengan kemurnian 99.79% ialah metode
hidroekstraksi yang memanfaatkan prinsip kelarutan dari NaCl dan pengotor[10].
Gambaran
umum, kondisi real, dan tantangan industrialisasi produksi garam yang telah
dipaparkan, diharapkan dapat bermanfaat khususnya dalam meningkatkan kesadaran serta
memahami proyeksi dan langkah menuju industrialisasi garam (NaCl) di Kabupaten
Sabu Raijua.
Referensi
[1].https://saburaijuakab.go.id/halaman/geografis
[3]. Wiendiyati, Nur, M., & Ignasius
sinu. (2018). Potensi pengembangan industri garam rakyat melalui teknologi
geomembrane di nusa tenggara timur. Seminar: Pengelolaan Pertanian Lahan
Kering Berkelanjutan Untuk Menunjang Kedaulatan Pangan.
[5].https://saburaijukab.go.id/halaman/iklim dan kondisi alam.
[6]. Nakmofa, Micklon., Kallau,
Johanis., Amheka, Adrianus. (2018). Kajian Kualitas Lingkungan Fisik-Kimia
Akibat Pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya Terpusat Di Desa Oelpuah Kecamatan
Kupang Tengah Kabupaten Kupang. Jurnal Bumi Lestari, Volume 18, doi: https://doi.org/10.24843/blje.2018.v18.i02.p02.
[7].https://penatimor.com/2019/07/13/divonis-ma-10-tahun-kadis
perindag-sarai-dijebloskan-ke-lapas/
[10]. Martina, Angela., Witono, Judy. (2014). Pemurnian garam dengan metode hidroekstraksi batch. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan.
Comments
Post a Comment