Fragmen catatan tentang spesies manusia (Homo sapiens): Asal usul dan profil yang tidak signifikan hingga jalur menuju kepunahan

 

(Source of picture: Sci-News.com)

Oleh: Arsel A. Pau Riwu

 

Saya membuat catatan ini sebagai bagian dari ketertarikan pribadi untuk mengoleksi kesadaran tentang adanya permulaan hingga jalur akhir eksistensi Homo sapiens di alam semesta. Penting untuk mereduksi bias dari narsisme “ciptaan yang paling mulia” dalam memahami spesies manusia sebagai objek yang tidak signifikan, layaknya cara kita memahami jenis organisme yang lain dari aspek susunan material dan perubahannya (evolusi). Saya mengasumsikan tulisan ini akan dengan mudah dipahami oleh “makhluk yang bijaksana” sebagaimana arti dari kata “Homo sapiens” - nama biologis yang dilekatkan pada manusia.

Setelah runtuhnya singularitas materi, energi, waktu, dan ruang melalui momen Ledakan Besar (Big Bang) pada 13.75 miliar tahun lalu, Bumi mulai terbentuk dan melewati fase kondensasi dan diferensiasi pada sekitar 4.56 ± 0.05 miliar tahun yang lalu. Dinamika dalam planet ini memunculkan matriks biologis menuju kehidupan melalui fase dunia prebiotik, protobioktik dan organisasi, hingga salah satu produknya ialah genus Homo. Pada sekitar 1.5 juta - 17 ribu tahun yang lalu, setidaknya terdapat enam spesies dari genus manusia di Bumi yang dikenal sebagai Premodern Homo. Namun, spesies Homo yang lain telah meninggalkan kita seperti layaknya 99% makhluk yang pernah ada dan telah hilang dalam lima periode kepunahan besar di Bumi. Saat tulisan ini dibuat, hanya tertinggal satu spesies dari manusia yang selalu merasa diri paling superior, yaitu kita – Homo sapiens. Hal ini melahirkan pertanyaan, apakah kepunahan besar selanjutnya akan menjemput spesies manusia?.

 

1.      Alam semesta yang abadi dan Homo sapiens yang tidak signifikan

Berdasarkan kajian dan perhitungan berbasis fakta adanya ekspansi alam semesta, memberikan informasi bahwa sekitar 13.75 miliar tahun lalu, zat, energi, waktu, dan ruang mecapai fase penting dalam dinamika pembentukan alam semesta yang dikenal sebagai momentum Ledakan Besar (Big Bang). Dalam teori ini, semua materi, waktu, ruang dan energi yang hadir dalam kekekalan dan keterpaduan (singularitas) dengan kepadatan yang tinggi, berkembang menjadi “ledakan” besar atau inflasi. Fragmen dari ledakan tersebut kemudian melalui kondensasi dan diferensiasi yang panjang membentuk komponen alam semesta seperti planet, bintang dan galaksi. Alam semesta sebagai materi jika ditinjau dari alur waktu secara spiral ialah sebuah proses yang dinamis dimana planet, bintang dan benda lainnya pada skala makroskopik akan memiliki siklus pembentukan dan penyusunan ulang (penghancuran) dalam periode tertentu. Akan tetapi esensi materi sendiri dalam tingkatan yang paling kecil dari skala mikroskopik adalah massa atom yang tetap eksis sebagai entitas dinamis yang abadi. Dalam kajian ilmu Kimia, telah dipahami bahwa massa seperti layaknya energi adalah entitas yang kekal dengan pemahaman tidak diciptakan dari ketiadaan dan tidak pula dapat dimusnahkan menuju ketiadaan. Hal yang dapat berubah dari materi ialah eksistensinya sebagai bentuk susunan tertentu yang secara dinamis dan periodik dapat berubah.

 

Pengujian dengan metode radiometric menunjukkan bahwa planet Bumi – tempat yang dihuni oleh spesies Homo sapiens, diketahui terbentuk pada 4.56 ± 0.05 miliar tahun yang lalu sebagai hasil kondensasi ataupun tumbukan lanjutan dari peristiwa Big Bang. Planet bumi kemudian mengalami fase diferensiasi dimana suhu permukaan bumi mengalami penurunan, lelehan Besi dan unsur lainnya seperti Magnesium mengikuti arah gravitasi dan tekonsentrasi pada inti. Sementara itu material yang lebih ringan seperti mineral silikat bergerak ke bagian atas atau ke permukaan bumi. Pada akhir periode 3.5 miliar tahun yang lalu saat planet bumi secara kimia lebih stabil, lautan dari hasil konsensasi uap air menjadi lebih kaya akan larutan Natrium, Kalium, Klorida, Magnesium, Kalsium, Bikarbonat dan Fosfat. Unsur jarang seperti Nikel, Zink, Molibdenum, Tembaga dan Kadmium juga hadir dalam lautan. Atmosfer bumi dipahami terbentuk setelah tumbukan planetesimal dengan proto-bumi yang kemudian membebaskan zat-zat volatile seperti gas CO2, H2O cair, gas N2 dan O2. Setelah kondensasi, uap air menghasilkan lautan dan CO2 terperangkap dalam mineral bumi serta N2 yang inert akan tetap stabil menyusun atmosfer.

Pemahaman tentang kekekalan materi memberikan pandangan yang lebih jauh dalam mendefinisikan profil Homo sapiens. Tubuh manusia sendiri dari aspek material merupakan bagian kecil dari dinamika alam semesta yang kekal, dimana massa sebagai elemen dasar penyusun tubuh tidak memiliki titik awal dan titik akhir dalam siklus materi atau dengan kata lain tidak ada penciptaan atau pemusnahan. Elemen dasar penyusun sel dalam tubuh manusia terdiri atas jutaan atom dari sekitar 60 jenis unsur. Unsur-unsur utama yang menyusun massa tubuh manusia sekitar lebih dari 96% ialah ialah Oksigen (±65%), Karbon (±20%), Hidrogen (±10%), Nitrogen (±3%), Kalsium (±1,5%) dan Fosfor (±1 %). Ataom dari unsur-unsur tersebut terikat dan membentuk mineral, molekul dan makromolekul dalam tubuh seperti air (62%), protein (16%), lemak (16%), mineral (6%) dan karbohidrat (1%). Molekul-molekul tersebut kemudian akan menjadi bagian fungsional dan structural dari semua unit biologis dalam tubuh seperti DNA, sel, enzim, tulang dan biomatriks lainnya. Unsur Oksigen dan Hidrogen umumnya berada dalam molekul air yang merupakan bagian penting dalam system transportasi dan metabolism tubuh. Selai itu, Hidrogen juga merupakan salah satu unsur utama dalam unit molekul penyusun sel seperti karbohidrat dan protein. Unsur Karbon dengan keunikan empat valensi umumnya hadir dalam bentuk karbohidrat maupun protein dalam sel, enzim dan biomatriks tubuh lainya. Kemampuan karbon untuk membentuk ikatan kovalen dengan empat valensi menyebabkan unsur ini dapat membentuk rantai makromolekul yang panjang. Selain itu, entalpi ikatan antara atom karbon relatif moderat (ikatan tunggal ±400 kJ/mol), sehingga ikatan ini lebih dinamis untuk mengalami perubahan/perombakan dalam sistem biologis tubuh. Unsur Nitrogen umumnya hadir dalam asama amino yang menyusun protein dan asam nukleat yang menyusun materi genetik dalam sel seperti deoxyribonucleic acid (DNA). Kalsium merupakan mineral umum yang terdapat dalam tulang dan gigi. Kalsium juga sangat berperan penting dalam kontraksi otot dan regulasi protein dalam tubuh. Tulang manusia akan membebeaskan ion-ion kalsium jika tidak tercukupi oleh kalsium dari bahan makanan sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya osteoporosis. Fosfor umumnya terdapat dalam tulang tetapi juga dalam molekul Adenosin tripospat yang berperan dalam metabolisme tubuh.

 

2.      Asal usul Homo sapiens

Catatan tentang asal usul Homo sapiens tidak terlepas dari teori tentang permulaan kehidupan di Bumi setelah planet ini terbentuk. Beberapa teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan asal usul kehidupan diantaranya ialah teori abiogenesis, teori biogenesis, dan teori evolusi kimia (neoabiogenesis). Teori abiogenesis (generatio spontanea) merupakan teori yang tergolong paling awal berkembang dan berpendapat bahwa makhluk hidup timbul begitu saja dari benda tak hidup. Teori ini diproposalkan oleh filsuf Yunani yaitu Aristoteles (384 - 322 SM) dengan pemikiran yang saat itu belum ditunjang dengan teknologi modern dan tanpa melalui pembuktian dengan metodologi ilmiah. Teori yang kedua ialah teori biogenesis yang memproposalkan kehidupan berasal dari kehidupan sebelumnya. Teori ini didukung oleh percobaan ilmiah yang dilakukan oleh beberapa ilmuwan termasuk Louis Pasteur (1863). Louis Pasteur memanaskan kaldu dalam labu dan ditutup tabung berbentuk leher angsa kemudian dibiarkan selama beberapa hari. Ternyata kaldu tersebut tetap bening dan tidak timbul mikroorganisme karena mikroorganisme di udara tidak sampai memiliki akses kedalam kaldu, tetapi jika tabung leher angsa dipatahkan maka kaldu tersebut ditumbuhi banyak mikroorganisme. Dengan demikian Louis Pasteur berkesimpulan bahwa semua kehidupan yang ada berasal dari kehidupan sebelumnya (omne vivum ex vivo). Teori ketiga yang lebih menarik perhatian peneliti dan masyarakat modern ialah teori evolusi kimia yang berhubungan dengan proses transformasi matriks biokimia selama jutaan tahun termasuk pembentukan dan akumulasi materi organik sederhana, perkembangan biopolymer yang lebih kompleks seperti materi genetik DNA dan RNA serta pembentukan jalur siklus biokimia pertama dari kandidat materi penyusun kehidupan.

Secara umum, skenario asal usul kehidupan dibagi dalam tiga tahap yaitu dunia prebiotik, dunia protobiotik dan fase organisasi. Dunia prebiotik dimulai ketika air pada permukaan bumi telah ada dan terakumulasi, bersamaan dengan kondisi atmosfir yang mengandung gas seperti CO, CO2, CH4, N2 dan NH3. Senyawa-senyawa yang sederhana mengalami proses reaksi kimia yang kompleks secara in situ dalam sistem atmosfer, sistem air permukaan atau bahkan dalam sistem hidrotermal pada lautan dalam. Reaksi endotermik menghasilkan kompleksitas molekul yang lebih besar yang didukung oleh sumber energi yang tersedia seperti radiasi sinar matahari, kalor geothermal, energi kimia, serta energi kinetik kosmik. Produk dari fase ini menghasilkan zat organik penting termasuk asam amino, lemak, gula, basa asam nukleat dan tentunya nukleotida pertama. Demonstrasi dari pembentukan molekul biologis yang relevan dari komponen abiotik telah dengan jelas ditunjukkan dalam percobaan Miller-Urey yang awalnya dilakukan pada 1952. Gas-gas yang terdapat dalam atmosfer seperti H2, H2O, NH3, dan CH4 direaksikan dan dikenai oleh muatan listrik yang merupakan simulasi dari proses yang terjadi di atmosfer. Reaksi kimia dalam sistem tersimulasi tersebut menghasilkan berbagai jenis produk seperti HCN dan H2CO hingga asam amino dan asam lemak. Percobaan tersebut mendemonstrasikan bahwa dibawah kondisi terasumsi, produksi beberapa jenis molekul yang dibutuhkan untuk kehidupan adalah sangat mungkin terjadi. Namun, demonstrasi ini tetap mendapatkan beberapa pertanyaan kontra seperti apakah komposisi gas terlebih Hidrogen yang terdapat dalam atmosfer saat molekul-molekul biologi awal disintesis, sama dengan komposisi atmosfer pada millennium saat ini yang dipakai sebagai rujukan dalam percobaan Miller-Urey. Tahap awal dalam sintesis abiotik adalah pembentukan radikal seperti radikal Hidrogen dari molekul awal seperti metana dengan adanya bantuan energi. Radikal ini akan terlibat dalam pembentukan senyawa biokimia yang lebih kompleks.

Gambar 1. Ilustrasi skematik percobaan Miller-Urey

Tahap kedua ialah tahap dunia protobiotik. Pada tahap ini molekul-molekul sederhana mengalami evolusi kimia melalui proses polimerisasi pada kondisi yang mendukung. Hasil polimerisasi pada tahap ini sangat vital dalam pembentukan matriks biologis yang menjadi blue print dari keidupan, seperti asam nukleat dan rantai asam amino (peptida). Asam nukleat terdiri atas gula pentosa dan gugus fosfat, dengan molekul basa nukleat Nitrogen yang terikat pada tiap gula pentosa. Gula pentosa dimaksud ialah ribosa dalam RNA dan deoksiribosa dalam DNA, sementara basa nitrogen terdiri atas Gunain (G), Sitosin (C), Adenin (A), dan Urasil (U) dalam RNA serta Timin (T) menggantikan Urasil dalam DNA. Struktur DNA diketahui sebagai struktur double helix dengan dua untai matriks yang terikat melalui ikatan Hidrogen antara pasangan basa. Distribusi geometri dari ikatan Hidrogen antara “Donor” dan “akseptor” ditentukan oleh aturan pasangan seperti A berpasangan dengan T, dan C berpasangan dengan G. DNA mengalami replikasi melalui pemisahan kedua untai matriks yang diikuti dengan penambahan nukleotida, dimana setiap untai matriks membentuk sebuah duplikat yang diatur oleh aturan pasangan basa. DNA juga mentranskripsi RNA dengan Adenin berpasangan dengan Urasil. RNA mengatur pembentukan peptida dari monomer asam amino tunggal, dan peptida merupakan penyusun protein dan enzim – bagian penting dari kehidupan dalam sel manusia.

Tahap ketiga merupakan tahap organisasi matriks biologis untuk membentuk unit struktural dan fungsional biologis yang lebih kompleks berupa sel. Sebuah sel merupakan unit autonom terkecil dari sistem kehidupan yang bisa mereplikasi diri secara independen melalui pembelahan mitosis maupun meiosis. Kehidupan pertama secara ilmiah diprediksi terdiri atas sel yang paling sederhana yaitu sel prokariota yang umumnya memiliki ukuran dalam skala mikrometer dengan susunan cairan sitoplasma dan dinding sel. Cairan sitoplasma mengandung ribosom yang menghasilkan protein dari templet RNA, sementara materi genetik seperti nukleotida primitive diketahui mengandung kromosom DNA tunggal. Dinding sel mengatur struktur dari sel dan berperan sebagai filter yang memisahkan cairan internal dari lingkungan eksternal. Dengan struktur sel kehidupan awal yang telah diketahui, pertanyaan penting lainnya yang harus dijawab ialah bagaimana sel pertama terbentuk?. Untuk menjawab pertanyaan ini, secara umum telah diketahui bahwa dinding sel mengandung membran yang tersusun atas fosfolipid. Setiap gugus fosfolipid mengandung “kepala” fosfat yang bersifat hidrofilik dan dua asam lemak sebagai “ekor” yang bersifat hidrofobik. Dengan kondisi ini, fosfolipid secara natural dapat secara mandiri terorganisasi didalam air untuk membentuk struktur seperti micelles dan liposom, dengan kepala mengarah keluar dan ekor mengarah kedalam. Sebuah liposom tersusun melalui ikatan oleh lemak (lipid bilayer) dengan geometri spiral membentuk sebuah dinding sel sederhana, sehingga merupakan kandidat alamiah bagi unit struktural sel pertama dalam kehidupan. Sel prokariota sederhana mengalami evolusi biokimia yang panjang membentuk sel yang lebih kompleks dengan organel-organel sel yang lebih lengkap yang disebut sel eukariota. Sel eukariota merupakan unit dasar dari jaringan yang menyusun organ tubuh manusia.

Para ahli biologi telah mengembangkan sistem klasifikasi/organisasi makluk hidup berdasarkan kekerabatan genetik, fisiologi dan morfologi makluk hidup. Spesies Homo sapiens sendiri sebagai bagian dari kerajaan hewan (Animalia) bersama dengan ribuan macam makluk lain yang menyusui keturunannya diklasifikasikan dalam kelas Mamalia. Dalam kelas mamalia, manusia masuk dalam sub-golongan yang disebut suku, yaitu suku Primata. Suku primata terbagi menjadi dua sub-suku yaitu Prosimil dan Anthropoid. Manusia digolongkan dalam sub-suku Anthropoid yang mana sub-suku ini dibagi khusus menjadi tiga infra-suku yaitu Ceboid, Cercopithecoid dan infra-suku Homonoid. Infra-suku Homonoid terdiri atas kera besar termasuk manusia. Infra-suku hominoid dibagi lebih khusus kedalam dua keluarga yaitu keluarga Pongid dan keluarga Hominid. Keluarga Pongid terdiri atas beberapa kera besar yang terutama yang hidup di daerah tropis di Asia dan Afrika seperti kera Gibbon, Orangutan, Simpanse dan Gorila. Sementara keluarga Hominid terdiri atas jenis/spesies manusia purba seperti Pithecanthropus dan Homoneanderthal, serta manusia modern (Homo sapiens). Manusia yang dikenal saat ini sebagai Homo sapiens secara biologis telah diketahui memiliki kekerabatan profil genetik yang dekat dengan anggota keluarga Hominid yang lain seperti simpanse.

 

3.      Prediksi kepunahan Homo sapiens

Menurut teori evolusi, setiap spesies memiliki potensi untuk mengalami fase depopulasi dan mencapai titik kepunahan. Kepunahan spesies tertentu biasanya diakibatkan oleh beberapa faktor seperti bencana alam, penyakit, dan lingkungan yang tidak mendukung lagi. Beberapa spesies berhasil bermutasi dan beradaptasi menurut jalur evolusi yang panjang, lambat, dan berat, namun tidak jarang yang harus gagal dan menemui kepunahannya. Berdasarkan hasil pengkajian para ilmuwan, telah diketahui bahwa 99% dari spesies yang pernah hadir di planet Bumi telah hilang karena mencapai titik bencana eksistensial ini.

Terdapat lima kepunahan masal yang telah terjadi pada mayoritas spesies penghuni bumi. Kepunahan pertama terjadi pada akhir periode Ordovician sekitar 443 juta tahun yang lalu, dikarenakan benua tua Gondwana mencapai Kutub Selatan sehingga suhu turun drastis, tingkat CO2 di atmosfer dan di laut turun, jumlah tanaman berkurang secara dramatis serta terjadi kekacauan ekosistem dan rantai makanan. Akibatnya, sekitar 86% populasi makluk hidup menghilang dalam periode tiga juta tahun kemudian. Beberapa organisme yang terkena dampak kepunahan yang pertama adalah Conodont, Brachiopoda, Acritarchs, Bryozons, dan juga Trilobita yang hidup di lautan. Kepunahan kedua dikenal sebagai periode Devonian atau Paleozoik sekitar 359 juta tahun yang lalu. Kepunahan ini disebabkan karena adanya hujan meteor massif yang mencapai permukaan bumi, serta berkurangnya oksigen di lautan secara drastis, meningkatnya aktivitas lempeng tektonik, dan adanya perubahan iklim secara global. Pada era ini diperkirakan sekitar 80% spesies makluk hidup mengalami kepunahan. Kepunahan ketiga terjadi pada era Permian sekitar 251 juta tahun yang lalu, dimana merupakan kepunahan terburuk yang pernah terjadi. Kepunahan besar ini disebabkan karena adanya perubahan iklim, perubahan lingkungan dan geologi selama pembentukan benua raksasa Pangea. Letusan gunung berapi di beberapa tempat di Bumi selama satu juta tahun diperkirakan telah membebaskan lava, membakar hutan yang sangat luas serta memproduksi CO2 dalam jumlah yang besar. Kondisi ini mengakibatkan CH4 beku di lautan meleleh, menghasilkan efek pemanasan global 20 kali lebih kuat daripada pengaruh CO2 selama 10 juta tahun. Pada periode ini, sekitar 96% dari semua spesies hidup mengalami kepunahan secara besar-besaran. Kepunahan keempat dikenal sebagai kepunahan “The Triassic-Jurassic” yang terjadi selama 8 juta tahun pada akhir zaman Trias - 210 juta tahun yang lalu. Kondisi ini diperkirakan terjadi karena pemisahan benua Pangaea yang lambat menyebabkan gunung berapi terbentuk di kawasan Magmatik Atlantik Tengah, konsentrasi CO2 melonjak di atmosfer, pemanasan global dimulai lagi, hingga terjadi perubahan level permukaan dan pH air laut. Sekitar 80% makluk hidup mengalami kepunahan pada periode ini termasuk reptil, makhluk laut, sejumlah makhluk darat seperti pseudosuchia, crocodylomorph, theropoda serta beberapa amfibi besar. Kepunahan kelima atau dikenal sebagai kepunahan Cretaceous-Tertiaryyang tejadi selama 2.5 juta tahun pada sekitar 65 juta tahun yang lalu. Diperkirakan kepunahan ini terjadi akibat jatuhnya meteor seperti di Teluk Meksiko, ditambah dengan aktivitas vulkanik tinggi yang memproduksi sejumlah besar CO2, membunuh lebih separuh dari populasi hidup di bumi termasuk Dinosaurus.

Eksistensi genus Homo sapiens di planet Bumi telah diketahui hadir dalam rentang waktu lebih dari 2 juta tahun yang lalu dalam rupa binatang/spesies yang sangat mirip dengan manusia modern. Manusia pertama kali berevolusi di Afrika Timur sekitar 2.5 juta tahun lalu dari satu genus kera lebih awal yang dinamakan Australopithecus, yang berarti ‘Kera Selatan’. Sebagian dari manusia purba tersebut melakukan perjalanan melintasi dan menetap di area luas Afrika Utara, Eropa, dan Asia. Sekitar rentang 17 ribu hingga 1.5 juta tahun yang lalu, setidaknya terdapat enam spesies dari genus manusia di Bumi yang dikenal sebagai Premodern Homo yang terdiri atas Homo erectus, Homo ergaster, Homo antecessor, Homo heidelbergenesis, Homo neanderthalensis, dan Homo floresiensis. Hari ini, hanya tertinggal satu spesies manusia yaitu kita – Homo sapiens. Spesies Homo yang lain telah mengalami kepunahan seperti layaknya mayoritas spesies makluk yang lain diluar genus Homo. Manusia dari jenis Homo floresiensis terakhir punah di Pulau Flores sekitar 12 ribu tahun lalu dengan meninggalkan sejumlah tulang belulang, alat-alat baru dan beberapa jejak DNA. Lalu, apakah bencana kepunahan yang sama kelak akan terjadi pada spesies Homo sapiens?.


Terdapat banyak skenario atau teori yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan dalam menjelaskan akhir keberadaan umat manusia di Bumi. Namun, skenario kepunahan Homo sapiens yang akan saya bahas dalam tulisan ini hanya berfokus pada dua aspek yaitu pertama perilaku agresi umat manusia sendiri dan yang kedua ialah aspek daya dukung lingkungan. Pada aspek pertama, banyak yang akan berpikir bahwa hal ini merupakan poin yang umum dan biasa terjadi dalam peradaban umat manusia, karena catatan sejarah telah menunjukkan manusia telah melewati banyak momen penaklukan atau agresi terhadap sesama spesiesnya. Akan tetapi dalam satu abad terakhir, terdapat perubahan yang signifikan dari karakteristik agresi yang telah ditunjukkan atau yang secara potensial dapat terjadi. Karakteristik baru yang dimaksud ialah penggunaan senjata pemusnah massal berbasis nuklir, kimia dan biologis dengan daya destruktif yang sangat signifikan. Hal ini menjadi perhatian dan kekhawatiran karena agresi antara sesama manusia dapat hadir bersamaan dengan potensi bencana eksistensial yang belum pernah dialami oleh umat manusia. Potensi penggunaan tenaga nuklir dalam perang yang luas menjadi salah satu kerentanan terbesar eksistensi umat manusia karena, beberapa negara seperti Korea Utara, Inggris, Prancis, Cina, India dan Pakistan terus memproduksi Uranium yang sangat diperkaya sebagai bahan bakunya. Selain itu, pengembangan dan penggunaan senjata pemusnah massal berbasis bahan kimia ataupun matriks biologis seperti pathogen jahat (bakteri, virus dan jamur) juga dapat berpotensi menghasilkan efek besar terhadap depopulasi manusia.

Persoalan eksistensial kedua yang berpotensi menyebabkan kepunahan spesies manusia ialah terkait ancaman dari aspek lingkungan. Banyak permasalahan lingkungan yang saat ini terjadi dengan cakupan dampak destruktif yang makin luas dan frekuensi yang makin tinggi. Persoalan tersebut diantaranya ialah efek rumah kaca dan perubahan iklim, kelangkaan makanan serta serangan pathogen dan penyakit. Jumlah karbon dan gas lain yang teremisikan menuju atmosfer semakin meningkat yaitu hampir empat kali lipat selama 100 tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan aktivitas manusia yang semakin eksploitatif seperti penggunaan sumberdaya fosil (minyak bumi, gas alam dan batubara) dan pembakaran hutan yang berlebihan. Pada tahun 2017, Global Carbon Project (GCP) mengestimasi emisi CO2 di Indonesia sebanyak 487 juta ton (MtCO2), atau meningkat 4,7 persen dari tahun sebelumnya. Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca seperti CO2 di atmosfer menyebabkan aliran kalor di permukaan bumi semakin terisolasi dan suhu bumi semakin meningkat. Saat ini, sebagian negara telah melakukan perjanjian untuk mengurangi emisi karbon dan menahan laju kenaikan suhu Bumi dibawah 1.5oC. Jika penanganan masalah pemanasan global ini tidak berhasil, maka dampak terhadap makluk hidup termasuk manusia akan semakin buruk. Spesies manusia seperti layaknya makluk hidup yang lain memiliki batas toleransi untuk bertahan terhadap suhu lingkungannya. Selain itu, pemanasan global juga dapat berakibat pada meningkatnya level permukaan laut yang mengancam keberadaan beberapa tempat atau kota di dunia serta dapat menjadi faktor yang mengaktivasi beberapa pathogen jahat yang selama ini terisolasi/berhibernasi dalam bekunya es di kutub bumi. Akibat pemanasan global juga sangat terkait dengan kerusakan ekologis yang berdampak pada kelangkaan kebutuhan dasar manusia seperti makanan dan air bersih karena bencana kekeringan. Salah satunya seperti yang terjadi pada Danau Chad di Afrika Barat, yang mengalami kekeringan selama 60 tahun karena penggunaan air yang berlebihan dan dampak perubahan iklim. Hal ini telah memengaruhi hidup lebih dari 40 juta orang di Chad, Nigeria dan Kamerun. 

Serangan pathogen yang meluas seperti skala pandemik yang besar merupakan risiko eksistensial lain yang perlu menjadi perhatian manusia. pathogen yang ada di alam dapat teraktivasi jika jalur atau akses menuju tubuh manusia semakin luas. Akses ini dapat semakin tinggi seiring dengan kerusakan dan eksploitasi alam. Selain serangan pathogen secara alamiah, penyalahgunaan rekayasa bioteknologi juga merupakan risiko yang bisa jauh lebih merusak daripada patogen alami, dan berpotensi menghilangkan sebagian besar populasi Bumi dalam waktu terbatas.

Sekian...



Referensi

1.   Ruiz-Mirazo K, Briones C, de la Escosura A. 2017 Chemical roots of biological evolution: the origins of life as a process of development of autonomous functional systems. Open Biol. 7: 170050. http://dx.doi.org/10.1098/rsob.170050

2.    Christos Lynteris. 2020. Human Extinction and the Pandemic Imaginary. Routledge. ISBN: 978-0-429-32205-1

3.   Nick Bostrom. 2022. Existential risk: Analyzing human extinction scenarios and related hazards. Journal of Evolution and Technology, Vol. 9, March 2002.

4.   J J Fraústo da Silva and R J P Williams. 2001. The biological chemistry of the elements, Oxford University Press

5. D E Canfield, S W Poulton, and G M Narbonne. 2007. Science. 315, 92 (DOI: 10.1126/science.1135013)

 

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman pribadi mengurus Visa J1 untuk studi ke Amerika Serikat

Holobion: cara rasional melihat tubuh manusia (Homo sapiens) sebagai organisme minoritas dalam dunia mikrobioma