Praktik Euthanasia (kematian terdesain dan terbimbing) : Paradoks dan otonomi/hak dalam memilih akhir hidup tiap insan manusia

Gambar: Seorang pasien (Craig Ewert) menerima layanan euthanasia – Gambar dari video dokumenter (link pada bagian referensi)

 

Oleh: Arsel Arianto Pau Riwu

  

1. Kematian manusia dan paradoksnya 

Saya membuat tulisan ini untuk mengoleksi kesadaran tentang salah satu kebenaran universal dari eksistensi tiap individu manusia di Bumi, yaitu kematian yang pasti terjadi baik melalui ataupun tanpa design pribadi, sebagai peristiwa di akhir kehidupan. Kematian tidak saja sebagai kondisi dimana manusia sebagai individu yang utuh tidak bisa melaksanakan fungsi dan pemaknaan sebagai mahkluk hidup, tetapi juga tubuh manusia sebagai kesatuan material telah kehilangan “memori” akan susunan super-kompleks dari atom-atom dalam jutaan molekul yang menyusun sel.

Mayoritas dari kita akan memiliki respon dasar yang normal yaitu mengaktifkan insting ketakutan pada kematian dengan segala pengetahuan (konsepsi) yang dimiliki. Hal ini kemudian secara psikologis telah melahirkan beberapa konsep penghindaran atau penyangkalan yang normal dan tidak rasional terhadap kematian jika ditinjau dari logika empirisme. Respon penyangkalan tersebut muncul sebagai mekanisme pertahanan diri atau penghiburan psikologis bagi manusia yang secara rasional menyadari akan adanya akhir kehidupan. Salah satu bentuk penyangkalan yang saya maksudkan ialah dihadirnya konsep “kehidupan setelah kematian” dalam sejarah pemikiran manusia yang umumnya tumbuh, “dirawat”, diajarkan serta tidak jarang dipakai sebagai instrument pengontrol oleh struktur kepercayaan (agama) klasik. Teori-teori tentang adanya kehidupan setelah kematian dinyatakan dalam berbagai macam versi kepercayaan dan bentuk, seperti yang umumnya diperkenalkan dalam tradisi agama-agama Abrahamik yaitu adanya konsep surga dan konsep neraka yang kekal dan kebangkitan roh atau jiwa. Sementara dalam beberapa pandangan kepercayaan yang lahir di anak benua Asia yaitu India mengajarkan adanya eksistensi yang berlanjut dalam bentuk siklus kehidupan setelah kematian (kelahiran ulang / reinkarnasi) dari manusia. Teori-teori atau kepercayaan tentang adanya kehidupan setelah kematian sejenis ini dipahami oleh beberapa ahli sains modern seperti Stephen Hawking sebagai sebuah respon penyangkalan, kecemasan dan ketakutan yang normal dari tiap insan manusia akan adanya akhir kehidupan.

Walaupun ketakutan dan penyangkalan merupakan respon umum terhadap kematian, namun pada beberapa kondisi terdapat paradoks, dimana ada juga manusia yang sampai pada tahap psikologis melihat kematian sebagai solusi sederhana dari persoalannya yang kompleks. Melalui beberapa pengalaman dan informasi, saya semakin menyadari dan melihat baik secara langsung maupun tidak langsung, ekspresi kesungguhan, kesedihan atau bahkan penderitaan dari orang-orang yang pada beberapa moment menyampaikan keinginan dan kebutuhan mereka untuk mengakhiri hidup. Mayoritas diantara mereka ialah orang yang berada dalam penderitaan fisik dan mental yang secara logis tidak lagi menaruh harapan dan kebahagiaan pada kehidupan, mereka yang tidak ingin membebani kehidupan itu sendiri baik kehidupan pribadi maupun orang lain seperti keluarga, atau mereka yang memang dengan sadar hendak memakai hak/otonomi menentukan nasib sendiri (The right of self-determination) untuk mengatur akhir kehidupan secara bermartabat atau dengan harga diri (death with dignity). Ekspresi dan keinginan untuk mengakhiri hidup bisa dinyatakan secara verbal maupun non-verbal. Tak jarang ekepresi tersebut dinyatakan dalam tindakan bunuh diri yang ilegal dari prespektif hukum positif di mayoritas negara termasuk Indonesia.

Kemajuan pola pikir dan teknologi yang semakin canggih dalam milenium terakhir ini telah menjadi penyebab perubahan ekstrim di berbagai bidang dan struktur serta pola pikir masyarakat baik secara cepat atau lambat. Demikian pula dalam bidang medis dan kaitannya dengan pandangan manusia tentang kehidupan dan kematian. Salah satu topik yang diperdebatkan di beberapa negara terkait hal yang disebutkan diatas ialah praktik euthanasia, dimana manusia pada kondisi khusus telah dapat mengekspresikan kebutuhan dan hak akan kematian melalui praktik medis yang legal. Pada awal Desember 2021, saya membaca sebuah artikel online yang dipublikasikan oleh BBC News tentang diijinkannya penggunaan mesin berupa kapsul peti mati portabel (Sarco Suicide Pod) di Swiss yang dapat dipakai untuk mengakhiri hidup manusia melalui Hipoksia (mengurangi akses oksigen ke sistem pernapasan). Ini adalah salah satu metode euthanasia yang dapat dilakukan tanpa melalui injeksi zat kimia atau melalui pemberian “zat pembunuh” ke sistem pencernaan oleh tenaga medis. Hal ini membuktikan bahwa keinginan tiap individu untuk menghadirkan akhir kematian sesuai yang diinginkan/didesign menjadi sesuatu hal yang lebih dapat diterima/dihormati dalam masyarakat yang lebih progresif dimana praktik euthanasis dilegalkan.

Namun, harus pula dipahami bahwa praktik euthanasia (assisted suicide) sendiri belum dapat diimplementasikan bahkan masih jarang diungkapkan/didiskusikan secara berimbang ditengah masyarakat. Banyak kontra dari masyarakat, keluarga dan juga hambatan dari hukum positif (yuridis) khususnya di Indonesia terkait keinginan atau pengambilan keputusan seseorang untuk mengakhiri hidup melalui praktik euthanasia (assisted suicide). Sekalipun praktik tersebut dilakukan untuk alasan kondisi medis khusus yang mana telah dapat diterima dan dipahami dibeberapa negara seperti Belanda, Belgia, Colombia, Swiss, Spanyol, Jerman dan Denmark, namun tetap saja tidak dapat diterima dalam kalangan masyarakat umum di Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya kondisi yang khas dan tantangan dari nilai dan dogma komuni (kelompok) yang konservatif tentang kehidupan dan kematian yang masih dipegang erat kuat. Negara kita memiliki perangkat hukum yang sangat jelas dan tegas menolak praktik euthanasia. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 KUHP  yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selamalamanya 12 tahun". Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapa pun juga, sekalipun atas permintaan diri sendiri.

 

2.  Euthanasia dalam definisi umum

Euthanasia merupakan salah satu isu etis yang besar dan kontroversial hingga saat ini. Definisi Euthanasia jika ditinjau dari aspek harafiah berupa bahasa Yunani, yaitu kata Thanatos yang berarti “kematian” dan kata Eu yang berarti “baik”. Jadi euthanasia artinya mati yang baik melalui design tertentu untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan penderitaan yang berlarut – larut. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary” disebutkan “Euthanasia is bringing about easy painless of death for persons suffering from incurable and painful deseases”, dimana artinya Euthanasia adalah membawa ke arah kematian dengan mudah dan tanpa merasakan sakit bagi seseorang yang menderita sesuatu penyakit yang parah dan takkan dapat disembuhkan lagi. Euthanasia atau dalam beberapa terminologi seperti good death, easy death atau mercy killing, pada hakekatnya merupakan praktek medis dengan metode dan bimbingan tertentu untuk mengakhiri kehidupan sebagai seorang manusia. Dalam pembahasan ini, yang saya maksudkan dengan euthanasia akan dipersempit pada voluntary euthanasia dimana sesorang menginginkan kematian melalui bimbingan dan metode tertentu serta mengekspresikan keinginannya secara verbal.

Eutahansia terdiri atas dua bentuk bimbingan yang umumnya dilakukan tenaga medis untuk mencapai kematian yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif dilakukan dengan “memotong” atau menghentikan perlakuan medis yang menjaga kehidupan seseorang tetap berlanjut. Contoh dari praktek ini misalnya dengan sengaja menghentikan pengobatan dan atau tidak memulai proses pengobatan atau tindakan medis yang dapat berakibat pada kematian pasien dalam waktu yang lebih awal dibandingkan jika pasien tersebut mendapat perlakuan medis yang sesuai. Kata “euthanasia pasif” memiliki makna bahwa kematian disebabkan oleh kondisi kesehatan pasien itu sendiri yang secara natural mengalami penurunan performa (degeneratif), tanpa ada intervensi eksternal. Euthanasia jenis kedua ialah euthanasia aktif dimana dapat dicapai dengan membunuh pasien secara aktif, membimbing pasien untuk membunuh dirinya sendiri (assisted suicide) atau mengakhiri hidup pasien dengan membuatnya tidak sadar dalam waku yang lama (contohnya dengan memberikan narkotik berdosis tinggi).

Terdapat beberapa metode yang telah dikembangkan untuk melaksanakan praktik euthanasia. Umunya euthanasia aktif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan seperti sianida, baik secara oral maupun melalui suntikan atau melalui design lainnya kedalam tubuh untuk mencapai kematian. Namun terdapat beberapa metode yang dikembangkan tanpa menggunakan suntikan atau konsumsi zat/obat, seperti Roller Coaster Euthanasia yang didesign pada tahun 2010 oleh Julijonas Urbonas. Prinsip dari design mesin pembunuh ini ialah mengurangi kadar oksigen secara ekstrim di otak manusia. Pada akhir 2021, sebuah instrument yang dipakai dalam euthanasia telah dikembangkan di Swiss yaitu mesin pembunuh berupa kapsul berbentuk peti mati (Sarco Suicide Pods). Mesin ini dikembangkan oleh organisasi non profit Exit International dengan pendirinya Dr Philip Nitschke akan memberikan pelayanan euthanasia dengan mekanisme mengurangi akses sistem pernapasan ke Oksigen secara ekstrim (Hipoksia).

 

3.  Alasan dibalik euthanasia

Legalisasi dan sikap mendukung praktek euthanasia di beberapa tempat tidak terlepas dari dua argument etis utama yang muncul, pertama ialah hak atau otonomi dalam penentuan nasib sendiri oleh tiap individu dan yang kedua ialah nilai kebaikan/kesejahteraan individu itu sendiri. Nilai utama dari martabat dan harga diri manusia (human dignity) terletak pada tanggungjawab, kapasitas dan kebebasan manusia untuk mengarahkan kehidupan sesuai  keputusan pribadi. Dengan hak ini mengimplikasikan bahwa tiap orang dapat membuat keputusan penting tentang kehidupan dan kematian mereka sendiri berdasarkan nilai-nilai, konsep dan prinsip yang mereka miliki dan bebas mengekspresikan keputusan mereka dalam tindakan. Nilai dari hak untuk menentukan nasib sendiri mensyaratkan beberapa kapasitas atau kompetensi minimum dalam proses pembuatan keputusan. Hal inilah yang yang menjadi batas scope dari euthanasia yang didukung oleh nilai hak menentukan nasib sendiri. Dalam praktik euthanasia di beberapa negara, evaluasi yang komprehensif dari tenaga medis merupakan syarat utama dari praktik assisted suicide (euthanasia) bagi pasien yang membutuhkan.

Alasan yang kedua terkait kebaikan/kesejahteraan individu akan terlihat lebih praktis dalam pengalaman beberapa orang yang memilih layanan euthanasia. Beberapa persoalan baik fisik maupun mental menjadi alasan umum orang mengambil keputusan mengakhiri penderitaan hidup melalui kematian. Sebagai contoh, pasien yang telah berada dalam kondisi kelumpuhan kronis yang tidak lagi memiliki harapan hidup berdasarkan evaluasi rasional, dan menginginkan akhir yang lebih cepat dan bermartabat untuk tidak menambah dan menghilangkan penderitaan dan beban, maka dalam beberapa kasus hal ini dapat dipahami dan menjadi bahan pertimbangan jika pasien meminta dilakukan praktik euthanasia.


Demikian dan Salam ...



Referensi

 

(1)   Dharmender Kumar Nehra, Pradeep Kumar and Sheetal Nehra. 2014. Euthanasia: An Understanding. Global Vision Publishing House

(2)   Dieter Birnbacher. 2015. Euthanasia. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 2nd edition, Volume 8. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.11016-5

(3)   https://www.bbc.com/news/technology-59577162  

(4)   https://www.pennlive.com/life/2021/06/lithuanian-man-designed-euthanasia-coaster-to-humanelytake-the-life-of-a-human-being.html

(5)   https://youtu.be/oJk-Qj-k7dY

Comments

  1. Selalu suka tulisan-tulisan kakak. Keep it up.

    Di tengah pro dan kontra pada isi euthanasia ini, kira-kira bagaimana penulis menempatkan diri?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Pengalaman pribadi mengurus Visa J1 untuk studi ke Amerika Serikat

Holobion: cara rasional melihat tubuh manusia (Homo sapiens) sebagai organisme minoritas dalam dunia mikrobioma

Fragmen catatan tentang spesies manusia (Homo sapiens): Asal usul dan profil yang tidak signifikan hingga jalur menuju kepunahan