Filosofi teras (stoisisme): jalan kebijaksanaan yang rasional untuk mendapatkan ketangguhan mental dan ketenangan hidup
Source of picture: www.thecollector.com
Oleh: Arsel A. Pau Riwu
How to live a good life with resilience, confidence, and calmness? salah satu pertanyaan filosofi klasik yang dipelajari secara serius oleh para pemikir seperti Epictetus dan Markus Aurelius ribuan tahun lalu. Pertanyaan tersebut juga niscaya selalu hadir dalam pikiran manusia pada kuarter pertama abad 21 ini. Catatan ini dibuat sebagai bagian dari upaya pribadi untuk memahami pertanyaan tersebut dan bagaimana menjalani hidup yang tenang diantara kerumitan dan kompleksitas pola pikir dari delapan miliar spesies manusia. Ditengah spektrum emosi yang dinamis dalam lima tahun terakhir, beberapa platfrom informasi dan algoritma telah banyak menyajikan bagaimana mengusahakan hidup yang lebih tenang. Salah satu topik pembahasan yang menarik dari thema tersebut adalah konsep filosofi stoisisme, pemikiran yang awalnya tumbuh dalam pengajaran para filsuf sekitar 2000 tahun lalu di serambi (stoa) bangunan Yunani klasik. Aliran filosofi ini secara umum berfokus pada bagaimana melatih kekuatan dalam diri (inner strength), mengendalikan persepsi dan interpretasi, dan semaksimal mungkin menghindarkan diri dari emosi-emosi negatif. Catatan ini mencakup beberapa subtopik yaitu: (1) emosi negatif dan pengendalian perspektif, (2) stoisisme, (3) dikotomi kendali, (4) hidup selaras dengan alam, (5) pengendalian persepsi dan interpretasi, (6) premeditatio malorum, (7) amor fati, dan (8) memento mori.
1. Emosi negatif dan pengendalian perspektif
Judul dari catatan ini telah mengarahkan pada pembahasan tentang cara melatih diri untuk mendapatkan ketangguhan mental dan ketenangan hidup - dua konsep yang sering dikaitkan dengan kebahagiaan. Namun, ditengah hiruk pikuk kehidupan yang semakin dinamis dan disruptive, manusia (tidak terkecuali penulis) tidak terlepas dan secara intensif mengalami emosi negatif. Selain urusan personal dan tekanan dunia profesional yang unik, tiap individu saat ini juga sering terpapar informasi seperti berita perang di beberapa belahan dunia, perang argumen para politisi, iklan-iklan dagang yang dengan mudah diakses, musibah hidup, dan banyak keributan lainnya yang dapat menguras energi positif. Kondisi ditengah kerumitan kehidupan membuat manusia rentan terhadap emosi negatif dan bahkan dalam beberapa kasus dapat membawa persoalan psikologi, fisik, dan sosial yang serius. Sebagai gambaran, kesulitan sosial dan ekonomi saat pandemik Covid 19 telah berkontribusi terhadap gangguan kejiwaan yang dialami oleh remaja di Indonesia. Hasil riset Indonesian - National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang dipublikasikan pada Desember 2022 mengungkapkan bahwa 1 dari 20 remaja atau sekitar 2,45 remaja Indonesia tengah mengalami gangguan jiwa dengan salah satu gejala ialah cemas (CNN Indonesia, 12/12/2022). Kondisi ini dan banyak variabel lainnya merupakan gangguan terhadap apa yang disebut sebagai ketenangan hidup. Untuk menangani persoalan tersebut, beberapa pendekatan atau aliran berpikir telah dikembangkan manusia mulai dari aspek biologis, psikologis, hingga kombinasi keduanya (biopsikologi). Namun, pertanyaan mendasar ialah manakah pendekatan yang rasional dan relevan untuk menjawab kerumitan yang dihadapi manusia pada era modern ini ?.
Setiap manusia pasti mendambakan kehidupan
yang tenang dimana emosi negatif (pathos)
dapat ditangani (dilatih) menjadi emosi yang baik. Bahkan pada tingkatan
lanjut, manusia butuh kemampuan untuk bersikap dan bertindak terhadap emosi di
dalam kesulitan, musibah, dan bencana. Dalam pandangan stoisisme, emosi negatif
didefinisikan sebagai hasrat yang berlebihan (eksesif) terhadap sesuatu. Hal
ini tidak berarti bahwa manusia harus memotong semua hasrat melalui proses
latihan (askesis), tetapi pada tahap lebih lanjut, orang yang mempraktekan
stoisisme tetap hidup dengan hasratnya yang sejalan dan selaras dengan rasio
(alam) dan logos universal. Dalam kehidupan sehari-hari emosi negatif sering
hadir dalam bentuk rasa iri, marah, cemas, takut, kesenangan berlebihan, hingga
rasa sesal atau pahit. Bagi penganut stoisisme (kaum Stoa), emosi negatif hadir
sebagai hasil rasio yang salah dalam menilai atau mengevaluasi suatu persoalan.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman bagaimana melatih cara berpikir dan
membangun perspektif dalam mengelola emosi negatif. Hal ini seiring dengan pendapat
filsuf Epictetus tentang apa yang membuat seseorang bagus dalam menjalani
hidup, dimana jawabannya bukanlah kekayaan, jabatan tinggi, bukan pula menjadi
seorang komandan (pemimpin). Seperti seseorang yang ingin memahami bidang Kimia
dengan baik, maka dia harus belajar dan berlatih pada topik-topik dalam bidang
kimia, atau seseorang yang ingin memahami musik, harus menginvestasikan energi
dan waktunya untuk belajar dan berlatih musik. Oleh karena itu, untuk menjalani
kehidupan yang baik dan tenang, sesorang harus memiliki pengetahuan dan mau
melatih diri terkait bagaimana hidup yang baik sebagai manusia.
2.
Stoisisme
Ajaran stoisisme hadir sejak sekitar 2000
tahun yang lalu yang dipelopori oleh tokoh dari berbagai latar belakang seperti
Markus Aurelius - Kaisar legendaris dari Romawi yang sangat bijaksana dan
melakukan perenungan/meditasi pribadi untuk melindungi kedamaian jiwanya dalam
masa perang, Zeno – seorang pedagang yang tertarik pada ajaran Socrates, Seneca
– seorang yang lahir di Spanyol dan dididik di Italia, Musonius Rufus – seorang
guru dan filsuf besar dari Romawi, dan Epictetus – seorang yang lahir sebagai
budak di Hierapolis (sekarang kota di Turki) namun mendapatkan pendidikan
terbaik dalam bimbingan Musonius Rufus. Mereka adalah pemikir yang tidak saja
mengajarkan aliran stoisisme, tetapi juga menerapkan pendekatan ini dalam hidup
mereka secara pribadi. Sebagai contoh, Markus Aurelius dalam tulisan Epiktetos
(budak Romawi) dikatakan bahwa setiap hari melakukan refleksi dan melatih diri untuk
memilih apa yang dapat dikontrol dan yang tidak dapat dikontrol dalam hidup (dikotomi
kendali).
3.
Dikotomi
kendali
Filsuf Epictetus (55 – 135 Masehi) pernah
mengutarakan bahwa salah satu tugas utama dalam hidup adalah mengenali dan memisahkan
hal-hal eksternal yang tidak di bawah kendali, dan yang berkaitan dengan
pilihan yang benar-benar dapat dikendalikan. Kendali (control) dalam pemahaman
Stoisisme adalah kemampuan untuk memutuskan (decide) dan mempengaruhi (influence)
sesuatu. Beberapa yang dapat dikendalikan oleh tiap individu meliputi pikiran,
pertimbangan, opini, tindakan, dan perkataan. Diluar dari aspek tersebut
seperti cuaca, kondisi ekonomi, kekayaan, karier, reputasi, dan kesehatan,
umumnya dikategorikan sebagai hal yang ada di luar kendali. Poin-poin tersebut
mengisyaratkan bahwa manusia tidak dapat mengendalikan apa dan bagaimana
sesuatu terjadi, yang bisa dikendalikan adalah bagaimana tiap individu
mempersepsikan dan bereaksi terhadap apa yang terjadi.
4.
Hidup
selaras dengan alam
Salah satu poin utama filosofi stoisisme
ialah “hidup selaras dengan alam” (in
accordance with nature). Dalam konteks ini, “alam” didefinisikan lebih
besar dari “lingkungan hidup”, dan mencakup keseluruhan alam semesta dan
seluruh isinya. Prinsip ini menekankan pada perbedaan antara manusia dari “binatang”
karena atribut rasionalitas seperti nalar, akal sehat, logika, dan kemampuan
untuk hidup dalam kebajikan. Manusia yang hidup selaras dengan ialah
sebaik-baiknya menggunakan rasio dan nalar untuk hidup dalam kebijaksanaan. Sebagai
ilustrasi, anggaplah seseorang mendaptkan pesan Whatsapp dari teman kerja yang isinya
menyinggung perasaan pribadi. Individu tersebut dapat memilih menggunakan rasio
untuk bagaimana merespon, apakah merespon dengan “kosa kata manusia” atau
memilih “kosakata sebagai penghuni kebun binatang”.
Poin lain dari konsep hidup selaras dengan alam ialah bahwa segala sesuatu di alam ini saling terkait (interconnected), termasuk semua hal yang terjadi dalam hidup manusia. Konsep ini diilustrasikan seperti jaring-jaring raksasa yang saling terkait. Kejadian-kejadian yang dialami tiap individu adalah hasil rantai peristiwa yang panjang, baik peristiwa penting dan besar, maupun peristiwa kecil yang terkesan remeh.
5.
Pengendalian
persepsi dan interpretasi
Dalam pengajarannya Epictetus, ia pernah
mengungkapkan bahwa “seharusnya bukan hal-hal atau peristiwa tertentu yang
meresahkan manusia, tetapi pertimbangan pikiran/persepsi/evaluasi akan hal-hal
dan peristiwa tersebut”. Dengan kata
lain, sumber sejati dari segala keresahan dan kekhawatiran adalah pikiran manusia
sendiri. Kejadian dalam hidup sendiri dianggap sebagai sesuatu yang netral (tidak
baik ataupun buruk), namun persepsi dan pertimbanganlah yang memutuskan sesuatu
kejadian adalah baik atau buruk. Dalam ajaran stoisisme, diperlukan adanya
pemisahan yang jelas antara fakta objektif yang bisa ditangkap oleh indera (impression), dan apa yang menjadi interpretasi
dari sinyal yang diterima indera tersebut (representation).
Hal ini dalam banyak kasus gagal dipisahkan dan berakibat pada mendatangkan
emosi negatif. Sebagai contoh, ketika seseorang diputus hubungan kerja, manusia
dapat menganggap kejadian tersebut sebagai karma negatif, kiamat, atau
menganggap peristiwa tersebut adalah jalan menuju kesempatan lain yang
menguntungkan. Banyak orang yang memilih jalan pikiran pertama dan berakhir
dengan emosi negatif seperti marah hingga depresi. Semua evaluasi dan persepsi
tiap individu akan memberikan arah penilaian/pertimbangan apakah kejadian
tersebut baik atau buruk.
6.
Premeditatio
Malorum
Mengkontemplasikan derita atau dalam
istilah Latin “Premeditatio Malorum” adalah
teknik psikologis yang dapat membantu tiap individu lebih siap secara mental menghadapi
kenyataan sulit/buruk. Di sisi salin, konsep ini juga dapat membantu menumbuhkan
rasa syukur apabila hal atau peristiwa yang dikontemplasikan ternyata tidak
menjadi kenyataan. Konsep ini dapat membenatu tiap individu untuk sungguh
'menikmati' waktu saat ini dengan kesadaran dan kesiapan bahwa kemalangan dan penderitaan
bisa datang kapan saja. Melakukan Premeditatio
Malorum tidak berarti mengharapkan kemalangan terjadi; melainkan hanya
menyiapkan diri apabila hal-hal tidak menyenangkan dalam hidup akhirnya menjadi
kenyataan. Hal ini dikarenakan realitas menunjukkan bahwa hidup manusia tidak terlepas
dari penderitaan, dan berpikir positif semata tidak akan mengubah fakta
tersebut. Hal ini seiring dengan pendapat yang disampaikan filsuf Seneca bahwa “musibah terasa paling berat bagi mereka
yang hanya mengharapkan keberuntungan”.
7.
Amor
Fati
Amor
Fati
merupakan istilah Latin yang diartikan "mencintai takdir". Dihubungkan
dengan konsep dikotomi kendali, banyak hal atau keadaan dalam hidup manusia yang
memang sama sekali tidak dapat diubah. Cara terbaik menghadapi kondisi ini
adalah dengan melatih diri menerima keadaan tersebut. Penerimaan (acceptance) memang sangat sulit dilakukan
karena ego manusia akan selalu berusaha meyakinkan diri bahwa berbagai hal
harus berjalan sesuai kehendak. Konsep mencintai akdir bukanlah bersikap pasrah,
namun menerima takdir sebagai bagian dari perjalanan kehidupan untuk memperoleh
kekuatan dan bertahan. Hal ini sesuai fakta bahwa dunia di sekitar manusia
adalah dunia real dimana peristiwa yang terjadi sebagaimana takdirnya seturut logos
semesta. Untuk hal ini, Epictetus pernah menyampaikan bahwa manusia hendaknya jangan
menuntut suatu peristiwa terjadi sesuai keinginan, tetapi justru inginkan agar
hidup terjadi seperti apa adanya.
8.
Memento
Mori
Semua manusia akan mati adalah fakta dan
kebenaran mutlak yang tidak mudah dipahami secara mendalam oleh semua manusia
dalam banyak momen kehidupan. Kesadaran yang mendalam akan fakta ini sebenarnya
mampu memberikan kekuatan dan ketenangan. Filsuf Seneca pernah mengungkapkan
pendapatnya akan hal ini dalam ilustrasi "Manusia kehilangan siang hari karena mengharapkan malam, dan kehilangan
malam hari karena takut akan fajar". Banyak manusia menderita dalam pikiran
dengan bentuk penyesalan akan sesuatu yang terjadi di masa lalu, dan dalam
bentuk kekhawatiran akan masa depan yang belum terjadi. Konsep Memento Mori bertujuan mengajarkan manusia
kembali ke kehidupan saat (detik) ini bukan di masa lalu ataupun masa depan.
--- SEKIAN ---
Referensi
1. Jonas
Salzgeber. 2019. The Little Book of Stoicism. ISBN: 978-1791967284
2. Manampiring,
Hendri. 2019. Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk mental tangguh
masa kini. ISBN: 978-602-412-518-9
Comments
Post a Comment